Scroll Top
Jl. Sikatan No.331B, Sumberejo, belakang Kantor, Kec. Sumberejo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur 62191
Perebutan kue Kekuasaan (1)

Kue Pesantren Tahun 2024

 (Sebuah Prediksi) oleh, KH. M Tajuddin al-Afghani, S.H.I

Sedikit catatan tentang pesantren, sambil menunggu waktu subuh. Sebuah catatan kualitatif hasil ngobrol ngalor ngidul tapi tetap on point, tetap menghasilkan minutes of meeting dari setiap seruputan kopi, hembusan asap, dan sisa-sisa kue lebaran.

Selama dua sampai tiga tahun terakhir, penerimaan santri baru secara umum dari sekitar +- 39.000 pesantren di Indonesia mengalami penurunan. Penurunannya bervariasi, rentang 5 sampai 50 persen. Ada juga yang tidak turun, tapi jumlahnya tidak signifikan, juga ada yang naik, juga tidak signifikan. Tetap secara umum, pesantren-pesantren di Indonesia jumlah santri barunya menurun, tidak seperti 10-15 tahun yang lalu, penerimaan santri barunya meningkat signifikan. Apa kira-kira penyebabnya?

Ada banyak faktor. Pertama, bertambah pesatnya jumlah pesantren di Indonesia. Pada tahun 2005, jumlah pesantren -+ 14.500 lembaga. Pada tahun 2016, jumlahnya tercatat oleh Kemenag menjadi -+ 28.000 lembaga. Sebuah lonjakan yang sangat signifikan. Pada rentang tahun 2000 hingga 2010 kemungkinan besar terjadi fenomena nasional yang menyebabkan masyarakat mengirim putra-putrinya ke pesantren dibanding ke sekolah. Perubahan perilaku masyarakat ini membuat tumbuh pesatnya jumlah pesantren, orang-orang seperti berlomba-lomba mendirikan pesantren. Baik pesantren model salafiyah NU, model pendidikan modern Gontor dan afiliasinya, model tarbiyah berbasis usrohnya, dan pendatang baru pesantren-pesantren yang mengklaim bermanhaj salaf. Terbaru, Muhammdiyah yang sudah maju lembaga pendidikan berbasis sekolahnya, juga masif mendirikan pesantren yang dinamai MBS, Muhammadiyah Boarding School.

Jumlah lembaga pendidikan Islam berbasis asrama, baik yang disebut pesantren, boarding school, dll. jumlahnya meningkat pesat, melebihi pertumbuhan jumlah anak-anak di Indonesia. Analogi sederhananya, besar kue segitu-gitu aja, dibagi ke banyak penerima. Apalagi pada tahun 2023, menurut data Kemenag, jumlah pesantren melonjak lagi menjadi 39.000 pesantren. Maka wajar banyak pesantren yang gulung tikar, operasional tidak tertutup, akhirnya dijual beserta santri-santrinya. Itu real terjadi.

Apakah ini bisa diartikan animo masyarakat terhadap pesantren turun? Tidak bisa disimpulkan begitu juga. Sebenarnya animo tetap tinggi, tapi ada faktor lain di luar kehendak masyarakat. Ini menjadi faktor kedua, yakni penurunan daya beli masyarakat. Ekonomi pasca pandemi yang betul-betul belum pulih, dampak perang Rusia-Ukraina, dan kini masyarakat dihantui perang dunia ke-3 pasca Iran memborbardir Isreal. Nampak gelap memang!

 

Ketika pandemi, pasca pandemi, hingga hari ini, daya beli menurun. Penurunan daya beli ini juga berimbas pada pertimbangan pilihan dalam menyekolahkan putra-putrinya. Sekolah negeri menjadi pilihan utama, selain karena biaya murah dan bahkan gratis, sekolah negeri dianggap memberikan harapan yang pasti. Tapi kita lihat ke depan, apakah keuangan negara akan baik-baik saja di tengah krisis global yang semakin tak menentu. Jika keuangan negara jebol, anggaran pendidikan terdampak, maka biaya pendidikan akan kembali ditanggung langsung oleh masyarakat. Sekolah negeri ataupun swasta, sama-sama akan menghadapi persoalan yang sama. Mengutip ucapan Ustadz Yusuf Mansyur, “Dari mana uangnya?”.

Dunia perguruan tinggi yang tidak menjamin lapangan pekerjaan bagi lulusannya akan mengalami dampak serupa. Terlebih kampus-kampus swasta, harap-harap cemas juga.

Menyekolahkan anak atau juga memondokkan anak zaman sekarang itu seperti beli properti, prospektif atau tidak? Para orang tua menghitung pendidikan sebagai investasi. Setelah lulus sekolah mau kemana? Jadi apa? Maka tidak sedikit lembaga pendidikan berbentuk pesantren menjadi bussiness as usual mengikuti sekolah-sekolah umum. Apakah salah? Tidak juga, karena setiap pesantren mempunyai pengalamannya sendiri-sendiri.

Kembali ke faktor-faktor di atas, selain jumlah pesantren yang melonjak drastis dan daya beli masyarakat yang belum pulih, jumlah angka kelahiran 13 hingga 15 tahun yang lalu (usia calon santri baru) tidak meningkat atau stagnan. Maka, seperti disampaikan di awal catatan, kue yang dibagi tidak bertambah. Apa yang akan terjadi? Bangku kosong!

Ya, bangku kosong. Jumlah pesantren sudah terlalu banyak, jumlah guru pengajar lulusan pendidikan guru sudah bejibun, siswa jadi rebutan.

Jika demikian, maka lembaga pendidikan harus berkompetisi secara ketat, adu kualitas, adu marketing, dll. Jika tidak, maka gulung tikar! Atau cukup gelar tikar makan sisa kue lebaran saja! 😁

Leave a comment